Surat Terbuka untuk Orang-Orang yang Memutuskan Akan Menikah Tanpa Berpacaran

“Dulu sekali, menikah tanpa berpacaran hanyalah milik komunitas yang sungguh spesifik. Biasanya alasan yang menyertainya begitu ideologis bernuansa politis. Tentu saja saya tak membicarakan model pernikahan ala Siti Nurbaya dalam perkara ini. Karena pernikahan dengan cara perjodohan, baik paksa ataupun lembut, biasanya juga tak diawali dengan berpacaran. 

Belakangan, konsep menikah tanpa pacaran merebak layaknya berudu di musim penghujan. Tak peduli lebarnya cuma lima-enam jengkal, asalkan lubang itu cukup cekung untuk menampung hujan, hilir-mudiklah kita lihat para kecebong di sana. Tak harus sudah malang-melintang di dunia per-liqo-an sekian tahun. Tak juga perlu sudah lintang-pukang menempel-nempel poster dakwah (baik yang sifatnya politis atau apolitis). Beberapa orang enteng saja berujar, “saya gak mau pacaran. Taaruf aja.” Terserahlah apa yang orang ini maksud dengan “taaruf”, entahkah benar-benar menggunakan perantara dalam segenap komunikasi para calon yang hendak menikah, atau hanya sekadar eufimisme untuk “pacaran-yang-jangka-waktunya-lebih-pendek-dan-memiliki-tujuan-pernikahan-yang-lebih-jelas-dari-pacaran-konvensional” saya haturkan “surat terbuka” ini.

Surat terbuka ini tentu saja bukan seperti surat terbuka pada umumnya. Tak ada pihak yang ingin saya persalahkan. Tak ada juga pihak yang ingin saya benarkan. Saya memilih term “surat terbuka” biar kekinian saja kok. Gak ada maksud lainnya.

Nah, di surat terbuka ini saya hanya ingin menyampaikan arahan-arahan yang akhir pekan kemarin telah saya sampaikan kepada beberapa Kakak Guru Sekolah Bermain Matahari. Yah, mereka memang sering meminta “fatwa” saya untuk urusan-urusan hidup mereka. Padahal mereka pun sebenarnya sudah mafhum, hidup saya saja tak lurus-lurus amat. Akan tetapi tentu tak elok jika makan siang bersama setelah selesai mengajar di @sbmatahari , hanya diisi dengan senyap dan sesekali melihat lini masa sosial media. Suara kemerosok dari seseorang yang sok bijak dan memiliki selera humor kelas atas, tentu lebih menarik didengar sembari mengunyah nasi sebanyak 30 kali, sebagaimana sunah Nabi.

Presentism

Gaya bukan main kan sub judul di atas? Kalau kamu penasaran, tentu kamu sudah langsung meng-google-nya sebelum sampai ke kalimat ini. Kalau kamu meng-google-nya dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (alias PUEBI asal tahu saja, EYD itu sudah out of date), yaitu tentu saja mengetik kata “presentism” di laman Google, bukannya di Bing apalagi Yahoo, kamu akan menemukan bahwa istilah itu berarti bahwa kita, manusia yang fana lagi tempatnya khilaf ini, punya kecenderungan melihat masa lalu dan masa depan sebagaimana keadaan saat ini.

Contoh sederhananya kira-kira begini.

Dulu waktu saya masih SD, keinginan saya sungguh sederhana, sumber kebahagiaan saya juga, saya tak ingin ada yang mengusik keberadaan saya di depan televisi dari jam enam pagi hingga sebelas siang pada hari Minggu, tak peduli orang itu adalah ayah, ibu, bahkan Pak Harto (waktu itu blio yang jadi presidennya, jika kamu bertanya). Waktu itu saya bahkan berpikir, kenapa ya ayah dan ibu saya tak ikut menonton film-film yang saya ikuti. Ayah saya malah asyik membantu ibu membilas pakaian yang telah dicuci. Ibu saya apalagi, asyik sekali menyuruh-nyuruh saya membeli telur-lah, minyak lampu-lah, ke warung yang jaraknya dari rumah bisa menghabiskan satu sesi film dan satu sesi iklan. Melihat ketidaktertarikan mereka ini, saya berjanji dalam hati, meskipun saya setua mereka nanti, saya akan tetap melestarikan perilaku Minggu saya ini. Hasilnya? Waktu saya SMA, saya sudah muak dengan segala macam rollerblade dan semua anak yang berambut warna-warni itu.

Kembali ke urusan pernikahan. Beberapa perempuan entah karena terlalu banyak menonton film Bang Haji Rhoma, menginginkan suami yang memberikannya kata-kata romantis setiap pagi. Ia berpikir pasti hidup yang diawali dengan puisi adalah hidup yang sungguh layak dijalani. Padahal nanti, ketimbang puisi, perempuan-perempuan ini akan lebih membutuhkan jenis laki-laki yang tak malu bertanya kepada mbak-mbak Alfamart (serius saya lebih suka dengan Alfamart ketimbang Indomaret. Pertama, Alfamart berbagi huruf pertama “A” sebagaimana nama saya. Kedua, pada Indomaret ada kata “maret” yang tak sesuai dengan bulan lahir saya “Agustus” yang lebih patriotik dan juga berawalan “A”.) di mana letak Laurier ukuran 1 milimeter. Lagi, ketimbang puisi, perempuan-perempuan ini akan lebih membutuhkan jenis laki-laki yang bernapas panjang. Meskipun sudah letih bekerja seharian masih kuat mengajak anaknya yang baru pandai berlari, berkejar-kejaran dari blok A hingga Z kompleks mereka.

Beberapa semua pria memimpikan isteri yang jika pun tak secantik Raisa, paling tidak sebelas(tiga perempat)-dua belas dengan Maudy Ayunda. Jauh di hatinya, ia merasa, jika menikah berarti menyelesaikan separuh agama, menikah dengan perempuan cantik berarti menyelesaikan tujuh perdelapan agama (kalau kamu sudah bosan dengan becandaan bilangan pecahan ini, sama kok, saya juga berpikir “apa matematika memang tak pernah bisa dibawa ke urusan tak serius ya?”). Laki-laki model begini, pastilah tak pernah tahu untuk mencapai wajah se-flawless Raisa, berapa banyak botol skin care yang harus dibeli. Jangankan tahu harganya, istilah toner, essence, lip mask, atau sleeping mask, saja insya Allah tak pernah mampir ke gendang telinga mereka. 

Saya tak bilang Raisa tidak kuasa membeli sendiri semua itu ketika ia menikah nanti, saya cuma mau bilang, “memangnya mukamu macam Hamish Daud heh, pengen isteri macam Raisa?

Begitulah. Apa-apa yang kita pikir kita butuhkan nanti ketika menikah ternyata itu hanyalah keinginan sepele hari ini. Sungguh otak kita tak bisa diajak bekerja sama dalam perkara-perkara memprediksi masa depan model begini. Apalagi jika kita telah disekap dengan kuatnya kebiasaan orang-orang di sekitar dan bumbu-bumbu yang ditawarkan sinetron dari tipi yang suka menyetel mars partai yang mirip nama BUMN itu. Kita kekeuh membeli beberapa bungkus Indoemie mi goreng hanya karena terpana melihat betapa seorang Al (El dan Dul, tak lengkap rasanya jika tak disebut ketiganya.) saja memulai harinya dengan mi goreng instan. Kita lupa kebiasaan kita membeli mi tek-tek yang lewat di depan kos setiap pukul 21.13 WIB itu dikarenakan di kamar kos kita tak tersedia panci, apalagi kompor.

Performance Paradox

Lagi-lagi istilah asing. Biar keliatan intelek, saya memang suka mengutip istilah-istilah keren macam ini. Padahal yah gak ngerti-ngerti amat jugak. Namun, jika mau diringkas performance paradox berarti gak nyambungnya nilai indikator suatu performa dengan nilai performa yang sebenarnya.

Ringkasnya kita langsung masuk ke contoh saja.

Semua orang tentu ingin pasangan yang saleh atau salihah. Biasanya jika ia adalah laki-laki, ia menginginkan yang salihah, jika ia menginginkan pasangan yang saleh, ya tidak apa-apa juga. Mungkin ia memiliki pengetahuan bahasa Arab yang lebih baik dari saya. Bukankah muslim itu berarti orang Islam baik laki-laki ataupun perempuan. Bisa jadi saleh ya laki-laki, ya perempuan juga. Sungguh kesotoyan yang bercampur dengan kebencian dan dibumbui sedikit prejudice adalah sumber segala macam peperangan yang pernah terjadi baik di dunia ini ataupun di dunia Tyrion Lannister sana.

Balik lagi ke laptop. Saya ulangi lagi, semua orang tentu ingin pasangan yang saleh atau salihah. Masalahnya muncul adalah bagaimana menentuka seseorang itu saleh atau tidak. Pada titik inilah muncul indikator. Entah karena malas untuk berpikir atau terlampau percaya dengan “kata orang” beberapa orang perempuan yang saya kenal menjadikan “ngaji” sebagai indikator dari performa kesalehan yang ia ingin dapatkan. Di otaknya yang cuma sejengkal itu ada semacam kepercayaan yang berkecambah, jika seseorang sudah “ngaji” berarti ia saleh semata. Ia tak pernah menunda bersemainya belief tadi dengan meluangkan waktu untuk bertanya, bagaimana orang tersebut menjalani aktivitas “ngaji”-nya? atau keinginan sendiri, dipaksa, atau sekadar ikut-ikutan-kah sehingga ia me”ngaji”? atau proaktif atau pasif belaka-kah ia ketika “ngaji”? atau rajin datang atau jika waktunya benar-benar kosong-kah baru ia hendak hadir ke forum “ngaji”-nya? Astagfirullah.

Ada pula laki-laki yang saya kenal membuat keinginan (alhamdulillah-nya) lebih spesifik: memiliki pemahaman agama yang baik. Ndilalahnya, indikator yang dibuat begitu buruk: ukuran jilbab yang digunakan. Semakin panjang jilbab yang digunakan, semakin baik pemahaman agamanya. Jika dililit di leher, mungkin baru bisa Iqra jilid satu. Jika terjulur ke dada dengan pinggir samping jilbab menutup setengah bahu, mungkin mau tamat Iqra jilid enam. Jika pinggir samping kiri-kanan telah sempurna menutup hingga siku, mungkin telah lulus program tahsin. Jika ujung jilbabnya sudah menutup hingga hampir mencapai lutut, sudah pasti ia telah hafal minimal tujuh surat panjang dalam Al Quran. Sungguh perkiraan-perkiraan yang berpotensi besar akan membawa kekecewaan nan panjang.

Nah, pada sesi ceramah saya biasanya ada sesi tanya jawab biar kesannya lebih demokratis dan bukan ajang indoktrinasi. Ada Kakak Guru Sekolah Bermain Matahari yang bertanya, “untuk menunjukkan bahwa ia adalah pria yang bertanggung jawab, bisa tidak kita melihatnya dengan apakah ia bertanggung jawab dengan pekerjaannya saat ini?”

Sungguh pertanyaan yang sangat brilian bukan? Bukankah indikator yang dinilai dengan performa yang mau disasar sudah cukup dekat: bertanggung jawab sebagai pria, bertanggung jawab sebagai pekerja. Jawaban saya sederhana saja, “betapa banyak keluarga yang hancur karena tak becus mengurus rumah tangga, padahal di lingkungan kerjanya dikenal sebagai pria atau perempuan yang sungguh berprestasi lagi dihormati”.

Persoalan pada performance paradox sebenarnya ada dua. Pertama, performa yang disasar begitu subtil. “Memiliki agama yang baik” memang jika dibaca baik-baik, sungguhlah romantis, agak melankolik malah. Akan tetapi, mau tidak mau, “baik” yang disandingkan pada “agama” itu musti kita definisikan lebih konkrit. Agar kekecewaan tak datang di kemudian hari. Ingatlah selalu peribahasa yang menyatakan bahwa, penyesalan selalu datang di akhir, jika ia datang di awal kita sebut itu perencanaan. Kedua, indikator yang digunakan untuk mengukur performa tak boleh sedikit, apalagi tunggal. Mana mungkin kita bisa mengetahui baik tidaknya bacaan Quran seseorang dengan melihat panjang jilbabnya. Jika kita mau tahu, silahkan langsung minta ia membaca beberapa ayat di depan kita. Kalau tak mau langsung ya minta direkam. (Kalau ia tidak mau dengan alasan suara perempuan adalah aurat, yah kamu pikir saja sendiri, kamu sebenarnya mau mencari isteri atau sedang melakukan seleksi musabaqah tilawatil quran tingkat kabupaten?)

Availability Heuristics

Sebenarnya saya ingin membuat sub judulnya, “Manusia Boleh Berencana, Tuhanlah yang Menentukan”. Setelah saya baca-baca lagi, kok ya terlalu dangdut, terlalu sesuai dengan diri saya, tulisan yang baik gak boleh terlalu mengumbar preferensi personal nanti gak obyektif lagi.

Saya langsung berikan contoh saja ya, sementara kamu googling dulu sana arti availability heuristics.

Seorang pria dengan niat tulus ikhlas ingin segera menikah. Ia tulis berderet-deret daftar yang harus dipenuhi seorang perempuan sehingga secara objektif perempuan ini memang adalah isteri yang tepat untuknya. Ia letakkan di posisi paling atas “restu ibu” karena ia tahu meskipun perempuan yang ia pilih baik jika ibunya tak merestui tak akan ia bisa melanjutkan ikhtiarnya itu. Di posisi berikutnya ia tulis berbaris rapi, “seakidah”, “satu manhaj”, “satu ustadz”, “satu almamater”, “satu suku”, “satu nusa”, “satu bangsa”, “satu bahasa”, “kita”, “iya, kita, kan sudah gak ada aku dan kamu lagi.” List macam apa ini?

Mulailah ia lakukan usahanya. Ia bergerilya masuk dari satu pengajian ke pengajian yang lain. Bertanya dari satu teman ke teman yang lain. Dari satu ustad ke ustad yang lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan perempuan yang masuk ke semua kriterianya. Ia bahkan telah memperkenalkan perempuan itu ke ibunya. Ibunya setuju. Pertemuan berikutnya perempuan itu bercerita hal yang begitu personal. Dulu sekali, kisah durjana itu datang padanya. Ada seorang pria entah dari mana datangnya. Tiba-tiba menghalangi jalannya menuju sekolah. Hal itu terjadi. Perempuan itu butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan traumanya. Demi mendengar cerita perempuan tadi, sang pria terkulai. Ia bingung, bagaimana mungkin kriteria macam begini bisa terlewat olehnya. Ia juga bingung pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin satu kriteria yang bahkan tak ada di kepalanya ini bisa menggoyang belasan kriteria yang dipenuhi perempuan yang ada di depannya itu.

Begitulah. Kita hanya memikirkan hal-hal yang sedang dekat dengan kita, yang baru saja kita alami, yang baru saja kita baca, yang baru saja kita bicarakan, yang baru saja kita dengar. Hal-hal yang jauh dari itu, kita anggap seolah-olah tak ada. sehingga tak layak dijadikan pertimbangan untuk memutuskan sesuatu.

Oleh karena itu, banyak-banyaklah berbincang dengan orang-orang yang telah menjalani. Meskipun hidup kita dan hidup orang-orang itu tak benar-benar sama, paling tidak kita akan mendapat sedikit masukan, hal-hal apa sebenarnya yang akan terjadi pada orang-orang tersebut.

Demikianlah tiga hal, yang harus kamu, khalayak yang memutuskan akan menikah tanpa berpacaran hiraukan (perhatikan, “hirau” berarti “perhatikan” begitu pula “acuh”. Jangan semena-mena diartikan “abai” yang bermakna ”tak peduli”. Sungguh orang-orang yang masih tak jua paham masalah ini, tak layak marah-marah kepada Malaysia karena telah membolak-balik Merah Putih, lah dia sendiri setiap hari masih membolak-balik Bahasa Indonesia. Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri!). Akhirul kalam, semoga surat terbuka ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Salam.

Masukan Emailmu Untuk Menjadi Visitor Premium Abida Massi

0 Response to "Surat Terbuka untuk Orang-Orang yang Memutuskan Akan Menikah Tanpa Berpacaran"

Post a Comment