Menjadi Pemaaf Tidaklah Sulit

Setiap kejadian yang kita alami adalah takdir, yang dibaliknya selalu menyimpan untaian hikmah tersendiri. Kadangkala, kita menemui sebuah takdir, yang mewabah atas sayatan luka, atau merekahnya cinta nan bahagia.

Dalam ceritaku, rabu merupakan hari lovable pada semester kemarin, juga semester ini. Bagaimana tidak? Beberapa matakuliah yang aku tempuh, diampu oleh dosen killer yang begitu membahana sangarnya. Pada matakuliah ini, dua pertemuan awal, kami mengerjakan Al-Imtihan Al-Maqbuliy, atau kalau dalam istilah inggrisnya Pre-Test. Ketika di pertemuan ketiga, bapak dosen membahas kesalahan-kesalahan pada pengerjaan kami.

Seluruh mahasiswa di jurusan, sudah tak asing lagi dengan cara mengajar beliau dan bagaimana kejamnya menegur. Kelas begitu mencekam, tulang-tulang punggung mereka nyaris membeku. Sungguh mengerikan, sebuah keadaan yang harus kami lalui selama satu semester ini. Menunggu giliran, dimana serapah-serapah itu akan hadir, mencekik urat nadi tenggorokan setiap dari kami. Menelan takdir untuk berbesar hati, dan menerima segala sesuatunya dengan lapang dada.

Qadarullah, dihari kedua, aku dihajar habis-habisan. Makian, cacian dan segala serapahnya kutelan perlahan pahitnya, bersamaan dengan dinginnya AC di ruangan. Sebenarnya, akupun tidak masalah dengan segala perkataan beliau, masih bisa menerima, karena memang aku yang salah. Selama salah, ya tak masalah bagiku, bahkan aku masih bisa tersenyum ditengah badainya beliau. Semua mata tertuju padaku, bukan ejekan, melainkan pandangan iba. “Why you look at me like that, guys? Whatever he said, no problem. All is well”, kataku dalam hati.

Tiga jam yang begitu terasa lamanya, seperti berjam-jam. Tak henti-hentinya beliau menyinggung pengerjaanku, bagaimana diriku, sampai segala informasi tentangku. Betapapun menyakitkannya ucapan beliau, aku masih saja berusaha tersenyum lapang untuk menerimanya. Hingga pada akhirnya, beliau menyinggung apa-apa yang seharusnya tak perlu disinggung; tentang mimpiku, tentang apa yang sudah menjadi pilihanku untuk menempuh studi di jurusan ini, tentang bagaimana rencanaku dalam perjuangan hidup yang panjang ini. Aku patah, hancur, emosiku benar-benar memuncak. Bagaimana tidak? Semua usahaku selama ini bagaikan sampah tak berguna, kotor, hina, sudah tak layak lagi untuk menggapai mimpi-mimpi yang sudah lama kubangun. Hatiku seperti tertusuk, nafasku tersengal-sengal, ingin sekali rasanya menyela beliau dengan segala hujatanku. Tapi sekali lagi, tidak. “Bukan begitu caranya”, kataku untuk mendinginkan suasana hati. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada seorang guru, aku berusaha untuk menahan diriku untuk tidak memberontak dan memilih berpaling dari tatapan beliau.

Pagi itu, berlalu begitu saja. Seiring berputarnya dentingan jam, aku biasa saja dan tetap ceria, meski harus menerima perihnya luka, masih saja tertawa seperti biasanya, hingga menjelang sore pada jam akhir perkuliahan. Sore itu, hujan cukup deras. Entah mengapa, hujan selalu mengubah segala perasaan menjadi sendu. Aku sesak napas, mencoba kuatur sendiri napasku sebelum masuk pintu rumah. Setelah aku datang, kuceritakan apa-apa yang terjadi. Kukira, dengan begitu bisa sedikit menenangkan resahku, tapi ternyata aku salah. Hal itu malah menjadikanku semakin down, mendadak pusing. Aku menekuk kedua kakiku ketika berbaring, kupeluk sebuah bantal kecil, gemuruh di dadaku semakin menderu, tak sanggup beranjak. Iqomah sudah terdengar, sedang aku tak segera beranjak dari dekapanku. Mereka mengajakku untuk turun ke mushola dan shalat berjamaah, tapi aku hanya diam. Aku menangis pelan, sesenggukan, entah mengapa rasanya sakit sekali dadaku. Kepalaku pusing, perutku mual, tiba-tiba semua perkataan beliau terngiang-ngiang di kepalaku. Aku terus menangis, begitu dalam, aku bisa merasakannya hingga terasa perihnya ulu hati.

Shalat jama'ah selesai. Mereka bergantian naik ke atas dan masuk ke dalam kamar. Melihatku menangis, setiap dari mereka angkat bicara untuk meredakan sedihku.

Rizka : ya Allah mbak Insan, kok nangis? Aduh mbak, jangan nangis. Kamu gak pantes lho kalo nangis hahaha

Mbak nadia : lho mbak ins beneran nangis ta itu? Ya Allah, kalo dia sampe gitu berarti ancene wes nemen banget yo?

Rizka : iyalah, parah ancen mbak, temenku yo ada yang kena semprot. Sampe berkaca-kaca matanya

Mbak eva : westalah dek, ga usah dipikir. Jarno ae lek ono dosen ngono iku gausah direken

Mbak nadia : ya Allah sampe abang kabeh ngunu. Delok en talah, insan tambah ayu yo lek nangis. Mripate sipit, abang kabeh

Rizka : wahaha iyo. Irunge dadi apik, khumairo’ mbak

Aku beranjak dan segera mengambil air wudhu, kemudian tersenyum kecil mendengar guyonan dari mereka. Aku masih saja sesenggukan, melangkah keluar kamar dan segera menunaikan sholat. Aku melihat Ula dan mbak Putri hendak shalat sunnah, tapi mereka malah menggodaku.

Ula : ya Allah nangis rek. Uluh uluhhh. Temenan nangis ta mbak iki?

Mbak putri : mau apa mbak ins? Mau apa?

Ula : njaluk opo ayo mbak? Jalan-jalan ta? Ayooo mumpung ganok ibuk ambek bapak lho

Mbak putri : ayo ayo. Apa beli eskrim?

Ula : lucu lho mbak iki lek nangis

Aku hanya tersenyum dan menyuruh mereka untuk segera sholat. Setelah sholat, aku tak segera beranjak. Isakan tangisku masih saja sesenggukan. Mereka memaksaku untuk segera makan, dan meredakanku supaya tak berlarut-larut dalam kesedihan. Sebenarnya masih belum ingin beranjak, tapi logikaku tergerak untuk memaksa keadaan, karena segala sesuatu yang berlebihan, tentunya tak baik dan bisa merugikan. Setelah makan, aku mengajak mbak Putri untuk beli coklat klasik. Seperti biasa, coklat memang andalanku ketika sedang overstress.

Bagaimanapun terpuruknya kita, kembalikan setiap kesalahan pada diri sendiri. Barangkali, ketika seorang guru berlaku tak selayaknya, adalah balasan atas perilaku kita sendiri terhadap guru-guru kita yang lain, saat menempuh bangku sekolah. Entah itu kemarin, sebulan yang lalu, atau bahkan bertahun-tahun yang lalu. Berilah ‘udzur kepada siapa-siapa yang mendzalimi, barangkali disitulah Allah hendak melembutkan hati kita. Tetaplah bersikap baik, sekalipun ia berlaku jahat terhadap kita. Tak perlu marah, apalagi dendam, karena menjadi pemaaf itu tidaklah sulit, apabila kita menempatkan hadirNya dalam setiap problema.

Malang, 8 Februari 2018 | Pena Imaji

Masukan Emailmu Untuk Menjadi Visitor Premium Abida Massi

0 Response to "Menjadi Pemaaf Tidaklah Sulit"

Post a Comment