Story (Biru)

“Eh, eh. Gue ada gosip baru nih masa ya si Fadlan yang anak baru itu lagi deketin Salsa anak kelas sebelah ituloh.” ucap Doni sembari masuk kelas dan langsung duduk di antara kerumunan cewek-cewek di belakangku. “Ah yang bener lo?” ledek Vania. “Ngapain bohong sih cantik.” tegas Doni dengan kemayu. “Serius lo? Fadlan tuh pacar gue kali. Liat aja tuh si Salsa.” timpal Vebby. “Yee pede banget deh lo Veb.” ledek Getar yang tiba-tiba sudah berada sekitar dua meter dari bangku ku. “Yee Getar ikutan aja, kenapa? Cemburu ya aku sama Fadlan?” ledek Vebby dengan senyum sok imut nya. Getar hanya tertawa kecil, ia langsung duduk di bangku yang berada tepat di hadapan ku. Kurasa volume iPodku kurang full sampai bisa mendengar pembicaraan mereka yang tidak penting sama sekali, gumam ku dalam hati.

“Heh bengong aja, ada Getar nih di sini. Dianggurin aja nih?” ucap Getar menghamburkan lamunanku tentang para bigos ini.  “Oh iya, ayo ke kantin.” tanpa basa-basi aku bangkit dari kursi ku dan menarik tangan Getar. “Bye Getar! Hati hati yaa.” ucap Vebby dari dalam kelas.

“Dasar genit.” ucapku ketus. “Ih kenapa? Cemburu yaa.” ledek Getar. Tangannya pun tidak lupa mencubit pipi ku seperti biasanya. “Getar! Sakit tau!” keluhku. “Kamu gak ikut ngegosipin anak baru yang ganteng itu?” ucapan Getar membuat mataku membulat, seakan timbul tanda tanya besar di atas kepala ku. “Dia tadi nyariin kamu masa.” kali ini ucapan Getar benar-benar membuat ku menghentikan langkah ku. “Maksudnya apasih, Tar?” tanyaku. “Iya tadi dia nanyain kamu.” lagi lagi tangannya melayang di pipiku. “Aduh sakit tau! Nih gue kasih tau ya, gue gak peduli sama hal kayak gitu. Dasar Getar tukang bohong.” ucapku, kali ini tanganku yang melayang di pipi kanan Getar. Ya cubitan balas dendam. Tanpa basa-basi aku pun langsung meninggalkan Getar ke kantin setelah mendaratkan cubitan balas dendam itu di pipi kanan nya.

***

*kriiing* Bel tanda sekolah usai. Hujan. Semoga aja kak Danis gak lupa jemput. Kalo bukan karena Getar, bisa-bisa kemarin aku jalan kaki kali gara-gara kak Danis lupa jemput, gumam ku dalam hati. Aku segera merapihkan buku ke dalam tas ku, dan tidak lupa memasang earphone.

Mendengarkan musik memang hal yang tidak pernah gagal membuat perasaan menjadi lebih baik, terutama lagu-lagu ciptaan Banda Neira. Rara Sekar dan Ananda Badudu. Kedua pemusik ini tidak pernah gagal membawa perasaanku terhanyut dalam lagu mereka, seakan mengajak ku menari di bawah rintik hujan sore ini.

Seperti biasa, aku menunggu kak Danis di salah satu bangku taman sekolah yang rimbun, bahkan rintik hujan tidak dapat menerobos sedikit pun.“Bersembunyi di balik tirai.. Memandang jalan.. Gadis kecil ingin ke luar.. Menantang alam.. Tapi di sana hujan.. Tiada berkesudahan…” lagu Banda Neira membuatku hanyut bersenandung. “Banda Neira, Diatas Kapal Kertas. Selera musik yang unik.” suara serak nan berat itu sontak mengagetkan ku dari hanyutan lagu Banda Neira. Segera aku menoleh ke arah sumber suara.. Fadlan? aku menyipitkan mataku seakan menegaskan itu benar-benar dia. Ya, Fadlan anak baru itu. Tanpa basa-basi aku segera bangkit dari tempat duduk ku dan hendak meninggalkannya, “Eh tunggu.” Fadlan menarik tanganku. “Ada urusan apa ya?” kata-kata itu terucap begitu saja dari bibir ku, aku hanya ingin segera meninggalkan tempat itu secepat mungkin. “Keeya Widuri? Gue Fadlan Aufarizqee. Inget?” tanya Fadlan, matanya yang sipit terlihat lebih besar sekarang. “Inget? Inget apa? Gue aja gak kenal sama lo.” jelas ku. “Oh gitu, sekarang kenal kan? Yaudah, gue duluan ya Keeya Widuri. Hati-hati di jalan.” dia berjalan mendekat ke arah ku, dan tiba-tiba ia mengacak-ngacak rambut ku. Aku sontak kaget, namun anehnya aku hanya terdiam. Dari kejauhan kulihat punggungnya yang tegap semakin menjauh dan kemudian menghilang ke arah parkiran sekolah. Fadlan? Apa apansi ini orang. Sok kenal, fikir ku.

***

Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke kelas Getar terlebih dahulu, sebagai permintaan maaf karena kemarin aku sudah meninggalkannya ke kantin, dan untuk satu hal lagi. Aku malas liat Vebby yang selalu kecentilan di depan Getar. “Mam, Getar ada?” tanya ku pada Imam, teman sekelas Getar. “Adatuh, masuk aja Kee.” balas nya. “Oke, makasih, Mam.”

Akupun masuk ke kelas Getar, namun mataku tidak tertuju ke arah Getar yang sedang duduk di bangkunya mengerjakan tugas, mataku tertuju ke satu arah. Cowok dengan gaya rambut pompadour nya yang sedang bermain gitar di pojok kelas, Fadlan? dia sekelas sama Getar? Aku mematung di depan pintu kelas, ‘ntah mengapa aku ragu untuk masuk. Tanpa sadar ternyata Getar sudah berdiri di hadapanku, “Hei?” lagi-lagi dia mencubit pipiku. “Getar, sakit tau. Ih gajadi deh gue traktir lo bakso, sakit!” oceh ku, “Haha lucu sih kamu, gemesin. Kayak badut.” ledek Getar. “Ih udah ah ayo ke kantin.” aku menarik tangannya, aku segera ingin meninggalkan kelas itu. Aku merasa Fadlan memperhatikanku. Permainan gitarnya pun berhenti saat Getar mencubit pipiku. Kenapa aku jadi ge-er gini sih? Mana mungkin Fadlan perhatiin aku.

***

           “Nih nyonya bakso nya.” ledek Getar dengan dua mangkok bakso di tangannya. “Makasih ya mas jelek.” ledek ku. Ketika aku dan Getar sedang asik menyantap bakso, tiba-tiba Fadlan duduk di samping ku, iya Fadlan. “Boleh duduk sini kan Keeya?” tanya nya, aku tidak menjawab pertanyaan Fadlan, aku membiarkannya mematung beberapa detik. Kemudian aku bangkit dari tempat duduk ku. Belum sempat aku melangkah, Fadlan menarik tanganku, “Keeya tunggu! Jangan marah dong gara-gara gue ngacak-ngacak rambut lo kemarin.” ucapannya membuat seisi kantin terdiam, semua orang mematung memperhatikan kami berdua. “Hah? Lo berdua? Kok? Apa mungkin…” celetuk Doni si bigos yang duduk tidak jauh dari meja ku, sebelum Doni si bigos ini bikin gosip lebih baik aku jelasin ajadeh, fikirku cepat. “Gue berdiri mau beliin Getar minum, gausah ge-er. Dan hal kemarin gausah lo besar-besarin, lo juga Don gausah bawel.”  tiba-tiba Getar menarik tanganku dari tangan Fadlan, tanpa suara sedikitpun ia menarik ku meninggalkan kantin. Getar tidak bicara sedikit pun sejak kejadian di kantin tadi, rasanya aneh melihat Getar diam seperti ini. Getar kenapa ya? Apa dia marah?

***

           *kriiing* Bel tanda sekolah usai, aku segera merapihkan buku ku dan keluar kelas. Ternyata di depan kelas sudah ada Getar yang ternyata sudah menunggu. “Kak Danis tadi SMS aku katanya gabisa jemput kamu.” jelas nya, aku hanya menunduk. ‘Ntah mengapa aku merasa bersalah atas kejadian di kantin siang tadi. “Kok nunduk? Jangan cemberut dong, mau ice cream?” Getar menarik tanganku perlahan kemudian menggenggamnya, namun kali ini rasanya beda. Terasa lebih hangat. Jantung ku pun berdegup lebih kencang  dari biasanya ketika melihat senyuman Getar kali ini, aneh.. aku ini kenapa? Getar kamu kenapa sih?

           “Hei, kok bengong?” Getar memergoki ku yang sedang memperhatikannya. “Hah? Gak kok gak apa-apa, gue mau pulang aja. Ohiya, hari Minggu ini ada acara baksos sekolah kita ya?” aku mencoba mencairkan suasana, “Oh iya sampe lupa, kamu tadi aku daftarin di divisi musik. Jadi pas hari Minggu kamu bisa manggung di acara baksos untuk cari dana.” penjelasan Getar membuat ku kaget. “Hah? Lo mau bikin dana baksosnya sedikit atau gimana sih, Tar?” oceh ku. “Berlebihan deh, udah pokoknya siapin aja lagu yang mau kamu nyanyiin di Pasar Santa hari Minggu jam lima sore, oke?” jelasnya. Senyum Getar menutup percakapan kami sore ini. Nyanyi? Nyanyi apa?Duh, dasar Getar.

***

           Hari Minggu, waktunya pelaksanaan kegiatan Bakti Sosial. Dan genap empat hari aku menjadi trending topic gosip sekolah semenjak kejadian di kantin Kamis kemarin.

Pasti bisa kok Keeya Widuri. Bisa bisa! ucapku pada cermin yang sedari tadi berada di hadapan ku. Namun, tiba-tiba pandanganku tertuju pada kotak kecil berwarna biru langit yang sudah agak lusuh di ujung meja belajar ku. Jaraknya kurang lebih satu meter dari tempat aku berdiri. Kotak itu.. aku segera mengambil kotak itu dan membukanya. Gelangnya masih ada.. masih muat gak ya.. senyum kecil terlukis di wajah ku. Aku pun ikut bernostalgia bersama gelang itu.. Biru? Kamu apa kabar ya? Kamu masih inget aku gak ya? Apa kamu sekarang udah jadi cowok ganteng? Haha, aku pun mencoba mengingat-ingat wajah nya. Iya, dia yang memberikan ku gelang perak yang dihiasi tiga buah batu saphire berwana biru langit, persis seperti warna kotak nya, dan sama seperti panggilan kesayangan yang ku berikan kepadanya, iya Biru. Gelang ini pemberian dari Biru, cinta pertama ku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar dulu. Mungkin untuk sebagian orang, hal ini terdengar sangat konyol. Namun untuk ku, Biru bukan hanya cinta di masa anak-kanak. Bahkan sampai saat ini aku berharap Biru bisa kembali. Kembali untuk mengisi hati ku seperti saat di Sekolah Dasar dulu. Haha, apasih Keeya Widuri. Hayalan kamu tinggi banget, Biru aja sudah gak tau sekarang ada dimana, fikir ku sembari melingkarkan gelang perak dengan hiasan batu saphire itu ke tangan kiri ku yang ternyata masih muat.

***

           “Ngapain lo Kee? Mau tampil?.” ucap Vebby, ‘ntah itu pertanyaan atau hanya bahan lelucon nya, tapi yang pasti aku merasa sudah cukup berurusan dengannya, aku pun hanya melempar senyum tipis kepadanya. “Giliran kamu, semangat Keeya!” ucap Getar yang tiba-tiba menggenggam tangan ku erat. Getar? Kamu? Kok…“Hei kok ngelamun? Ini giliran kamu.” ucap Getar dengan senyum khasnya. Aku merasakan wajah ku menghangat dan memerah saat Getar menggenggam tanganku tadi.

***

           “Seperti hadirmu di kala gempa.. Jujur dan tanpa bersandiwara.. Teduhnya seperti hujan di mimpi.. Berdua ki..” belum sempat aku menyelesaikan bait ke dua lagu Banda Neira yang ku tampilkan tersebut. Seketika, lampu panggung meredup.. aku pun menghentikan petikan gitar ku. Dari arah penonton terlihat seorang cowok memegang sebatang lilin yang menyala di tangan kirinya, cahaya lilin membuat wajahnya terlihat samar-samar. Aku seperti mengenal sweater rajut biru donker dan celana chino coklat yang ia kenakan. Aku menyipitkan mataku, mencoba menegaskan siapa dia. Di tangannya yang lain ia memegang satu buquet bunga mawar berwarna biru cerah. Biru yang sama seperti gelang yang aku kenakan, apa mungkin?

           “Getar?” kini aku bisa melihat nya dengan jelas. Getar mendekat ke arah ku. Ia menggenggam tangan kanan ku. “Hai, Keeya Widuri. Maaf bikin kamu bingung. Kali ini di hadapan semua orang aku ingin mengutarakan perasaan aku yang udah aku simpan selama tiga tahun terakhir ini. Maaf aku terlalu lama untuk mengumpulkan nyali untuk bilang ini ke kamu. Mungkin aku bukan cinta pertama kamu yang selalu kamu ceritain ke aku. Tapi boleh kah aku mengisi hati mu? Seperti kamu mengisi setiap detik hari ku? Aku sayang banget sama kamu Keeya. Aku bukan mau jadiin kamu pacar aku, karena aku tahu kamu belum terfikir ke arah sana. Aku cuma mau kamu tau kalau aku sayang banget sama kamu, Keeya Widuri.”  Kurang lebih satu menit. Satu menit aku merasakan detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Satu menit aku merasakan pipi ku menghangat, berubah warna menjadi merah padam. Aku kehabisan kata-kata. Aku mematung. Aku berdiri dan meletakkan gitar yang sedari tadi ku pangku. Aku memeluk Getar. Seketika Pasar Santa pun riuh oleh penonton dan teman-teman yang bertepuk tangan dan menyoraki kami. Getar, maafin aku. Butuh waktu yang cukup lama juga untuk aku sadar kalo sebenarnya aku juga sayang sama kamu, ucapku dalam hati, tangan Getar pun masih melingkar di tubuh mungil ku.

***

           “Kenapa lo senyum senyum aja dari tadi? Mikir jorok ya.” ledek kak Danis menghancurkan lamunan ku tentang kejadian di Pasar Santa tadi. Aku hanya melirik nya, aku malas berdebat dengan nya. “Eh ditanya juga. Oh iya, tau gak lo kenapa Bunda suruh gue jemput lo?” kali ini dia mendapatkan perhatianku. “Kenapa?” tanya ku penasaran. “Inget Iki gak? Tetangga kita dulu? Dia lagi ada di rumah sekarang sama tante Sofiya sama om Edwin.” jelas kak Danis, “Iki? Siapa?” dahi ku mengernyit seakan mencoba mengingat nama itu. “Ituloh yang ngasih lo gelang warna biru pas lo SD.” mata ku sontak membulat seakan tidak percaya. Tidak keluar satu patah katapun dari bibirku. Sepanjang perjalan kerumah mataku hanya memandang kosong ke arah jalanan Jakarta yang cukup ramai malam ini, hati ini tidak menentu, tubuh ku memang berada di dalam mobil Jazz merah kesayangan kakak ku ini, tapi fikiran ku jauh mengawang diastas sana, iya, aku masih tidak percaya. Memang, Kak Danis tukang bohong namun ‘ntah mengapa kali ini aku mencoba percaya ucapan kak Danis. Biru? Di rumah ku? Apa aku sedang bermimpi? Duh.

***

       “Kenapa bengong? Ayo turun.” Kak Danis lagi-lagi menghamburkan lamunan ku. Aku turun dari mobil, dan menyadari tidak ada satu pun mobil atau motor terparkir di rumahku. Apa kak Danis bohong? gumam ku. Tiba-tiba terdengar tawa renyah Ayah dari arah dalam. Seketika aku mematung di pintu depan. Untuk pertama kali nya tangan ku bergetar saat membuka pintu rumah ku sendiri. “Assalamualaikum, Keeya pulang.” suara ku terdengar bergetar. “Waalaikumsalam. Eh Kiki sudah besar ya.” Sambut seorang wanita paruh baya dengan senyumnya yang mengembang, ketika aku membuka pintu. Di sampingnya duduk seorang laki-laki paruh baya yang terlihat gagah dengan gaya rambut cepak khas militernya. Itu tante Sofiya dan om Edwin. Mana Biru? Aku masih mematung di pintu depan mata ku menulusuri setiap sudut ruang tamu rumah ku, iya aku mencari nya. Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil berhenti. Aku sontak menoleh. Seorang laki-laki berbadan tegap dengan tinggi kurang lebih 179cm berjalan ke arah ku, wajah nya terlihat samar. Dia.. dia.. mana mungkin? aku mencoba menebak-nebak.

                                                                       ***                                                        

Kini dia berdiri dihadapan, wajah nya dapat dengan jelas ku lihat. Dengan senyum yang sama seperti saat aku bertemu dengannya di bangku taman sekolah beberapa hari lalu, dia menyapaku “Hai, Keeya Widuri. Inget?” Aku hanya mematung. Aku kehabisan kata-kata. Aku tidak bisa membalas sapaan itu satu patah kata pun. “Gelang kamu bagus.” Fadlan meraih tangan kiri ku, ia kembali melempar senyum untuk kedua kalinya ke arah ku. Matanya yang sipit terlihat hanya segaris kali ini. Fadlan?Kamu…

Masukan Emailmu Untuk Menjadi Visitor Premium Abida Massi

0 Response to "Story (Biru)"

Post a Comment